You can visit my mobile version blog at http://blogpoenyabudi.blogspot.com/?m=1

Stigma Teroris Khadafy Masih Kuat di AS

SAAT pasukan sekutu membombardir Tripoli, ibukota Libya dengan roket dan bom, suasana di Gedung Putih, kantor Presiden AS, di Washington, sepi-sepi saja. Tidak ada pejabat yang bersulangan anggur atau champagne menandai dimulainya operasi militer di benua Afrika itu.
Padahal aksi militer tersebut boleh dibilang sebagai sebuah pertunjukan kebanggaan AS selaku negara adidaya dalam dunia militer. Apa yang terjadi? Tidak seriuskah Amerika memerangi Khadafy?

Ya, suasana di Gedung Putih memang sepi.  Karena penghuninya, Presiden Barack Obama pada saat aksi militer dilakukan, sedang berada di Brasil, Amerika Selatan. Tidak adanya reaksi antusias dari Presiden Barack Obama akhirnya melahirkan persoalan sekaligus pertanyaan.
Persoalannya adalah presiden merupakan Panglima Tertinggi dari semua gabungan Angkatan Bersenjata Amerika Serikat (Commander-in-Chief). Sehingga Obama punya kewajiban mengetahui dan memantau langsung operasi militer di luar negeri itu. Operasi itu mempertaruhkan martabat bangsa dan rakyat Amerika Serikat.
Menurut wartawan Gedung Putih yang menyertai Obama dalam perjalanan ke Brasil,    Presiden AS tetap mengikuti perkembangan Konflik Libya. Tetapi sepertinya otak Obama juga dipenuhi oleh persoalan lain. Obama meminta masukan dari Kepala Keamanannya, hanya beberapa menit. Setelah itu ia berkonsentrasi pada kegiatan lain sesuai agenda di Brasil.
Obama mengunjungi daerah kumuh di kota Rio de Janeiro, menikmati pemandangan cantik dari pantai dan pegunungan kota tersebut. Sampai dengan kegiatan menendang sepakbola, seperti pesepakbola profesional yang sedang melakukan 'pemanasan'.
Seorang wartawan Gedung Putih lainnya, mengungkapkan, sewaktu berpidato di depan komunitas pilihan Brasil, Obama berbicara tentang Brasil dan situasi politik Libya. Obama memuji Brasil sebagai contoh yang baik dalam demokrasi. Brasil kata Obama pernah mengalami pemerintahan yang situasinya mirip dengan Libya saat ini. Tidak ada demokrasi dan penguasa menjadi otoriter.
Namun melalui perjuangan yang tak mengenal lelah oleh para pejuang demokrasi, akhirnya Brasil menjadi salah satu negara yang mempraktekkan kehidupan demokrasi secara benar.
Dia berharap bangsa Libya khususnya gerenasi muda bisa belajar dari pengalaman Brasil.  Sebab negeri samba ini menurut Obama sudah berubah menjadi sebuah negara kelas menengah yang pertumbuhan ekonominya sangat baik.
Sekalipun pidato Obama dinilai masih kontekstual karena penilaiannya tentang Brasil memang sesuai dengan keadaan di negeri itu, tetapi para pengamat menandai, konsentrasi atau pikiran npikiran Obama 'terganggu' oleh Konflik Libya. Obama sedang berfikir, bagaimana memposisikan AS secara benar.
Jauh di lubuk hati Obama yang dalam, Presiden berdarah Afrika itu merasa, kebijakan yang sudah diambil oleh Menteri Luar Negerinya terdapat hal yang bertentangan dengan hati nuraninya. Namun dia harus hati-hati mengekspresikannya dalam rangka menjaga wibawa dan keharmonisan Tim Kepresidenan.
Konsepnya tentang hubungan AS dengan  dunia Islam, dengan operasi militer itu menjadi terganggu. Sebab Libya merupakan salah negara Islam yang seharusnya dirangkul oleh AS. Lagi pula tiga hari sebelumnya, ketika berpidato menyambut keputusan Dewan Keamanan PBB yang merestui penggunaan aksi militer terhadap Libya, Obama menyelipkan kalimat yang cukup tegas.
"Penggunaan kekuatan militer seminim mungkin. Dan yang patut diingat, tak satupun negara asing yang dapat menegakkan demokrasi di Libya, termasuk Amerika Serikat", kata Obama.
Sejak dari kampanyenya dalam rangka menuju Gedung Putih, Obama sudah menjanjikan akan memperkenalkan paradigma baru apabila ia terpilih menjadi Presiden. Obama menginginkan agar AS  lebih mendengar dari pada mendikte atau memaksakan kehendak. Penggunaan kekuatan militer di Libya, sama dengan pemaksaan kehendak. AS kembali ingin mendikte Libya.
Dalam rangka memperbaiki hubungan dengan Dunia Islam, saat usia pemerintahannya masih dallm kisaran 100 hari, Obama ke Kairo dan menyampaikan paradigmanya itu.
Sekalipun konsepnya, tidak sepenuhnya bisa dipahami oleh komunitas Islam, tetapi serangan militer AS terhadap Libya, apalagi dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan di sebuah negara Islam, jelas sangat tidak sesuai dengan prinsipnya-prinsipnya.
Dan sebagai manusia biasa, selaku warga negara Amerika yang lahir dari keluarga atau pasangan Afrika, Obama tak bisa begitu saja membuang kepeduliannya tentang Libya, salah satu negara di benua Afrika. Lalu pertanyaannya adalah, mengapa Obama tidak mencegah keterlibatan AS dalam Konflik Libya?
Agaknya Obama memiliki kendala psikologis atau keterbatasan. Manajemen birokrasi di pemerintahan AS yang sudah terbentuk demikian kuat, sudah terlanjur menempatkan Presiden Libya Moamar Khadafy sebagai salah seorang musuh utama Amerika Serikat. Label negatif maupun stygma tentang Khadafy sudah ada begitu Presiden Libya itu melakukan kudeta pada 1969.
Selama 42 tahun, Khadafy pun, tidak pernah menjadi sahabat dari AS. Semua Presiden AS yang memerintah sejak 1969,  tidak pernah mengubah cara pandang mereka tentang Libya dan Khadafy.
Terlebih lagi selama Perang Dingin dimana AS menempatkan (bekas) Uni Sovyet sebagai musuh utama, Khadafy lebih berkiblat ke Moskow.  Perang Dingin sudah berakhir, tetapi Khadafy di mata AS punya stigma baru, yaitu sebagai pemimpin dan eksportir teroris.
Sehingga kalaupun elit AS setuju dengan pendekatan Obama terhadap dunia Islam, tetapi dengan latar belakang tadi, Khadafy harus memjadi pengecualian. Khadafy masih tetap menjadi momok. AS boleh saja bersahabat dengan Dunia Islam, kecuali negara yang masih dipimpin Khadafy.
Inilah kendala besar yang dihadapi Obama.





..:: Artikel yang Berkaitan ::..

Posted in:

Leave a Reply