Kekhawatiran muncul terhadap dampak letusan gunung ini karena sebelumnya akibat letusan gunung berapi Eyjafjallajokull pada tahun 2010 lalu kekacauan penerbangan terjadi di seluruh Eropa.
Semua negara Eropa saat itu melarang perusahaan penerbangan mengoperasikan pesawatnya dan itu tercatat sebagai penutupan jalur wilayah udara terbesar di Eropa sejak Perang Dunia II.
Namun sejumlah pejabat di Islandia mengatakan letusan terakhir yang terpantau dari gunung berapi Grímsvötn tampaknya tidak akan menimbulkan dampak seperti Eyjafjallajokull meskipun saat ini larangan terbang telah diberlakukan di wilayah sekitar gunung tersebut.
Pejabat Kantor Meteorologi Islandia yang juga seorang geolog, Hjorleifur Sveinbjornsson mengatakan kepada "Reuters" bahwa Grímsvötn telah mengeluarkan asap putih hingga ke udara dan mencapai ketinggian hingga 15 km. "Letusan ini memang bisa menjadi letusan besar, tetapi tidak seperti (letusan Gunung Eyjafjallajokull) yang terjadi tahun lalu," kata Sveinbjornsson.
Sementara itu otoritas Bandar Udara Isavia di Islandia mengatakan larangan terbang sejauh 120 mil di sekitar lokasi letusan telah mereka berlakukan. "Penutupan dilakukan sampai kami mengetahui bagaimana dampak abu tersebut," kata juru bicara otoritas Bandara Isavia, Hjordis Gudmundsdottir, yang dikutip "BBC".
Perusahaan Penerbangan Icelandair mengatakan sejauh ini jadwal penerbangan domestik masih belum terganggu dengan letusan yang dikeluarkan Gunung Grímsvötn. "Kami berharap akibat letusan Grímsvötn ini tidak mempengaruhi lalu lintas udara antara negara," kata direktur komunikasi perusahaan itu Gudjon Arngrimsson.
Meski sejumlah orang mengatakan penutupan wilayah udara akibat dampak letusan gunung berapi sebagai sesuatu yang berlebihan namun sejumlah peneliti telah menemukan hal yang sebaliknya.
Para peneliti dari Universitas Copenhagen dan Universitas Islandia mengatakan abu partikel dari letusan seperti gunung Eyjafjallajokull sangat abrasif dan sangat mungkinan dapat memunculkan ancaman gangguan untuk pesawat. (A-147)
