You can visit my mobile version blog at http://blogpoenyabudi.blogspot.com/?m=1

The Da Vinci Code:
Antara Data, Dongeng
dan Dusta (Bagian 2)

Oleh: Pdt. Ruslan Christian

      Setelah meninjau novel The Da Vinci Code (TDVC) secara Bibliologis dan Kristologis, maka berikut adalah tinjauan dari aspek sejarah gereja, fakta lain, dan falsafah. 


TINJAUAN SEJARAH GEREJA

      3.1. TDVC menggambarkan Maria Magdalena sebagai kekasih atau isteri Yesus, lalu disingkirkan karena sistem patriarkal gereja, dan sebaliknya kaum Gnostik sangat menghargainya.
      FAKTA: Alkitab tidak mengindikasikan sedikitpun bahwa Maria Magdalena adalah kekasih atau isteri Yesus. Lukas pertama kali menyebutnya dalam Lukas 8:1-3 dan ia bukan wanita berdosa dalam Lukas 7:36-50, sebab namanya tidak disebut dalam nas terakhir ini. Yesus mengusir roh-roh jahat dari dirinya, sehingga devosinya terhadap Yesus sangat mendalam. Bersama dengan para wanita lain dan para rasul, ia mengikuti Yesus dari satu tempat ke tempat lain dan mendukung pelayanan Yesus (Luk. 8:1-3).
Dia turut saat Yesus menuju Yerusalem (Mat. 27:55), hingga penyaliban dan penguburan Yesus, sedangkan para murid melarikan diri (Mark. 15:47). Pada hari kebangkitan Yesus, ia salah satu dari wanita yang menuju ke kubur Yesus (Mat.28:1; Mark.16:1). Ia menyaksikan kubur Yesus yang kosong dan memberitahukan kepada Petrus dan Yohanes (Yoh. 20:2). Ia kembali ke kubur dan bertemu dengan Yesus yang bangkit. Yesus melarang menjamah atau menahanNya sebab Ia harus kembali ke sorga. Yesus menyuruhnya memberitahukan kabar kebangkita kepada para murid (Yoh. 20:17) dan Maria menaatiNya. Jadi tidak ada indikasi sedikitpun bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena.
      Alkitab menghargai baik pria maupun wanita sebagai ciptaan Allah. Tidak ada diskriminasi jender, khususnya terhadap kaum wanita. Bahkan Alkitab menghargai peran Maria Magdalena dan para wanita yang mengikut Yesus dengan menceritakan realita itu sebagaimana adanya, sekalipun tidak lazim pada masa itu kaum pria dan wanita pergi bersama-sama. Ini pendekatan baru dari Yesus dan penghargaanNya terhadap kaum wanita. Demikian pula para rasul (pria) tidak mempunyai sikap meremehkan kaum wanita, termasuk terhadap Maria Magdalena. Pada abad ketiga, Hippolitus, seorang bapa gereja, menyebut Maria Magdalena sebagai ”rasul atas para rasul.”
      Sebaliknya, kaum Gnostik yang meremehkan kaum wanita sebab dalam literatur mereka Maria Magdalena digambarkan sebagai ”membuat dirinya menjadi laki-laki,” atau tidak berjender sebagai prasyarat untuk menerima wahyu khusus dari Yesus. Hal ini menunjukkan Gnostisisme meremehkan kaum wanita. Ini kekacauan dalam konsep TDVC.

      3.2. Brown beranggapan, konsili Nicea untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 327) dan merupakan keputusan politik Konstantin. Menurutnya, orang Kristen abad pertama tahu bahwaYesus manusia biasa, lalu konsili ini dipandang sebagai langkah politis untuk mengambil keuntungan dari pengaruh Yesus dan melegitimasi kekuasaan gereja dan negara.
      FAKTA: Pokok perdebatan konsili Nicea (Juni 325 M) bukan soal Konstantin meningkatkan status Yesus menjadi Tuhan, melainkan soal ajaran Arius seputar hubungan KeAllahan dalam Tritunggal. Konsili mengutuk Arius dan menyusun Pengakuan Iman Nicaea (anti Arius). Ketiga pribadi Allah dipandang sehakekat. Lihat uraian tentang Tinjauan Kristologis, nomor 2.1.

      3.3. Dalam TDVC Konstantin dipandang bukan seorang Kristen, melainkan seorang pagan seumur hidupnya dan pendeta kepala kelompok pemujaan Sol Invictus, atau Matahari Tak Tertandingi. Tiga abad setelah penyaliban Yesus Kristus, para pengikut Kristus tumbuh berlipat-lipat. Kaum Kristen dan pagan mulai berperang, dan konflik itu tumbuh sedemikian besar sehingga mengancam akan membelah Roma menjadi dua. Pada tahun 325 M, Konstantin memutuskan untuk menyatukan Romawi dalam sebuah agama tunggal. Kristen (hal. 324).
      FAKTA: Memang ada beragam isu seputar kehidupan Konstantin. Misal, apakah Konstantin sungguh menjadi Kristen atau hanya Kristen nominal, dan keputusannya menjadikan agama Kristen sebagai agama negara berdasarkan alasan politis atau tidak. Namun sangat jelas, sama sekali tidak ada upaya penghapusan kepercayaan bahwa Yesus hanya manusia belaka lalu dijadikan Tuhan. Jadi isu-isu kontroversial dalam sejarah tidak boleh ditambah-tambahi, ketidakjelasan direkayasa ke arah yang salah, apalagi sejarah dibelokkan menurut imajinasi manusiawi. Ini menjadi dusta, bukan fakta sejarah.
      Selain itu, dengan khayalannya, Brown memberi penghargaan yang terlalu tinggi terhadap kekristenan pada era sebelum Konstantin. Ini suatu hal yang berkontradiksi dengan realita sejarah. Sebab orang Kristen teraniaya secara dahsyat saat itu. Tahap pertama di kota Roma tahun 64 M atas perintah Nero. Tahap kedua sekitar tahun 250 M, dimana negara sendiri mengambil inisiatip dan bersifat sistematis, pemimpin utamanya adalah kaisar Decius (250 M) dan Diocletianus (300 M). Alasan penganiayaan, memanfaatkan agama untuk mempersatukan penduduk dan meredakan murka para dewa dalam peperangan. Sasaran utamanya adalah para uskup (Roma, Antiokhia, Yerusalem). Jadi orang Kristen bukan mayoritas yang melawan paganisme (saling berhadapan). Permusuhan itu dari satu sisi saja dan orang Kristen sebagai pihak teraniaya.

      3.4. Brown mengatakan dalam novelnya, “Kristen menghormati Sabat Yahudi pada hari Sabtu, tapi Konstantin menggesernya agar bertemu dengan hari kaum pagan memuliakan matahari…Hingga hari ini, kebanyakan jemaat gereja menghadiri layanan Gereja pada Minggu pagi tanpa sadar sama sekali bahwa mereka sedang melakukan penghormatan mingguan pada dewa matahari kaum pagan – Sun-day, hari matahari” (hal. 325).
      FAKTA: Pandangan tersebut menyesatkan sebab Surat Barnabas dan Didache (90-115 M, doktrin ke 12 rasul) mengatakan kaum Kristen beribadah Hari Minggu. Surat Barnabas mengatakan, “Kami merayakan hari yang kedelapan dengan sukacita, yang mana Yesus bangkit dari kematian.” Selain itu, pada pertengahan abad kedua, Yustinus Martir menulis, “Dan pada hari yang disebut ‘Hari Sol’ (Sunday/Hari Minggu) ada perkumpulan dari semua yang menetap di desa-desa atau di pedalaman. Kemudian, karangan para rasul atau karangan para nabi dibaca…ketika pembaca selesai, penilik menyampaikan pemberitaan, dimana kita dianjurkan untuk meniru teladan-teladan yang baik ini.” Fakta lain menunjukkan, pada tahun 196 M, Bardaisan dari Mesopotamia menulis, “Dan apa yang kami dapat katakan tentang ras baru, yaitu kami kaum Kristen, yang mana Yesus, pada waktu Ia datang, menanamnya di dalam tiap negara dan tiap daerah? …Pada satu hari, yaitu hari yang pertama, kami berkumpul bersama-sama..” Dengan demikian cikal-bakal ibadah hari Minggu bukan seperti yang dikhayalkan Brown, melainkan karena pengaruh peristiwa besar, kebangkitan Yesus dari maut.

TINJAUAN FAKTA LAIN
      4.1. TDVC menggambarkan Opus Dei sebagai organisasi kebiaraan dimana anggotanya terdiri dari para biarawan. Salah satu rahibnya bernama Silas, seorang albino.
      Faktanya tidaklah demikian. Website Opus Dei membantah banyak hal yang salah dalam TDVC tentang beragam sisi dari organisasi tersebut. Opus Dei bukan tarekat biarawan, melainkan suatu lembaga Katolik yang anggotanya terdiri dari kaum awam dan para pastor, bukan suatu tatanan kebiaraan. Anggota yang berstatus pastor (imam) kurang dari dua persen.
      Opus Dei tidak mempraktekkan kehidupan yang menarik diri dari dunia ini seperti kehidupan monastis. Sebaliknya Opus Dei memberdayakan kaum awam bertumbuh dekat dengan Tuhan melalui aktivitas kehidupan sehari-hari yang wajar.
      Sejumlah sangat kecil anggota Opus Dei menjalani kehidupan selibat agar mereka lebih memiliki banyak waktu untuk kegiatan Opus Dei. Namun tidak ada sumpah, jubah, tidur pada lapik kasar, doa atau meditasi sepanjang hari, dan pematian raga sebagaimana yang digambarkan TDVC. Sebagian besar anggotanya justru memiliki pekerjaan dengan beragam profesi sekuler pada umumnya. Fakta ini sangat bertolak belakang dengan Opus Dei yang digambarkan TDVC.
      Brown menggambarkan Opus Dei sebagai “sekte.” Lembaga Opus Dei membantahnya dengan menyatakan bahwa lembaga itu sepenuhnya terintegrasi secara utuh sebagai bagian gereja Katolik. Para anggotanya dibawah bimbingan pemimpin Opus Dei, sama seperti orang Katolik lainnya yang dibawah kepemimpinan Uskup. Pengajaran Opus Dei juga mengakui kesetaraan jender, bukan diskriminasi jender, seperti yang dikatakan dalam TDVC.

      4.2. Brown melukiskan Biarawan Sion (Priory of Sion) sebagai kelompok yang melindungi rahasia tentang keturunan Yesus dan Maria Magdalena dari generasi ke generasi sejak zaman Kristus. Dokumen-dokumen di reruntuhan Bait Suci dianggap membuktikan “rahasia besar” Yesus menikahi Maria Magdalena dan mempunyai anak yang bernama Sarah. Dinasti Merovingian, raja-raja Prancis, dianggap berasal dari keturunan Yesus dan Maria.
      Carl E. Olson dan Sandra Miesel, dalam buku ”The Da Vinci Hoax” menguraikan secara panjang lebar bagaimana dongeng dan rekaan yang penuh kerumitan dan kepalsuan tentang Biarawan Sion sejak zaman kuno hingga masa modern. Biarawan Sion pertama kali dipublikasi oleh penulis Prancis tahun 1960an, kemudian ke dalam dunia berbahasa Inggris pada tahun 1982, oleh penulis Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, dengan judul ”Holy Blood, Holy Grail.” Brown banyak dipengaruhi oleh buku ini, misalnya tentang perkawinan Yesus dengan Maria Magdalena, pewarisan darah suci perkawinan itu kepada dinasti Merovingian di Prancis.
      Namun buku-buku yang mengulas tentang Biarawan Sion tidak bersesuaian satu dengan lainnya dan masing-masing memiliki versinya sendiri. Menurut Olson dan Miesel, buku ”Holy Blood, Holy Grail” dan ”The Messianic Legacy” mengungkapkan, berdasarkan dokumen Biarawan Sion, tentang perkawinan Yesus dan Maria Magdalena. Sedangkan buku ”The Templar Revelation,” juga sumber gagasan Brown, mengatakan Yohanes Pembaptis sebagai Mesias sejati. Buku ”Holy Blood, Holy Grail” menciptakan bualan fantastis tentang dinasti Merovingian yang jauh dari kenyataan dengan mengagungkan mereka. Sebaliknya mereka justru senang kekerasan, poligami, dan semua naskah mereka ditulis dengan kaligrafi terburuk di dunia Barat.
      Pada masa kini, khayalan tentang Biarawan Sion dicipta oleh Pierre Palantard beserta rekan-rekannya. Olson dan Miesel mengatakan, Plantard memperkenalkan dirinya sebagai pakar Templar pada tahun 1979. Hal ini mempengaruhi Michael Baigent dan dua temannya untuk menulis buku ”Holy Blood, Holy Grail.” Tahun 1989, Plantard menolak dokumen lamanya, dan memperkenalkan sejumlah dokumen baru. Pusat pembahasannya juga berubah, dari harta misterius menjadi batu cadas misterius. Lalu tahun 1990, ia tidak lagi mengaku dirinya sebagai pewaris darah Merovingian. Jadi cerita di seputar Biarawan Sion penuh dengan kesimpangsiuran, ketidakjelasan, kepalsuan, dan cerita isapan jempol manusia. Bahan-bahan demikian yang diramu Brown untuk menghasilkan TDVC.

      4.3. Dalam TDVC, Leonardo Da Vinci dipandang sebagai salah satu Grand Master masa lampau, dari sederetan Grand Master di dalam organisasi Biarawan Sion. Pribadi dan karya Leonardo Da Vinci dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menimbulkan beragam teka-teki yang menarik untuk dipecahkan.
      Kenyataannya, Leonardo Da Vinci memang orang yang sangat jenius, namun ia orang yang tidak berminat terhadap kepercayaan esoteris, pemujaan paganisme, dan hal mistis lainnya.
      Dalam lukisan Leonardo ”The Last Supper,” dipradugakan oleh TDVC bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan Maria duduk di sebelah kanan Yesus. Kenyataannya, yang berdekatan dengan Yesus dalam lukisan itu adalah Petrus, Yudas, dan Yohanes. Ketiganya memiliki peran dalam penyaliban Yesus. Rasul Yohanes yang berada di sebelah Yesus, bukan Maria Magdalena.

TINJAUAN FALSAFAH
      TDVC adalah novel produk cara pandang Posmodernisme (bisa menunjuk pada ideologi atau filsafat atau sebagai tren zaman). Istilah Posmodernisme digunakan mulai dari bidang seni dan beragam bidang lainnya, misal sejarah, filsafat, dan lain sebagainya. Novel Posmodernisme juga memiliki ciri khusus. Beberapa ciri khas Novel Posmodernisme tampak jelas dalam TDVC.
      1. Posmodernisme memandang kata-kata tidak menyatakan makna/kebenaran, melainkan mengonstruksi makna/kebenaran. Kata-kata dianggap sebagai kebenaran ilusif, permainan kuasa yang menentukan kebudayaan. Setiap teks dipandang sebagai ciptaan politis, berfungsi sebagai alat propaganda, dan melestarikan status quo. Teks tersebut menyusun dan membenarkan rasisme, sexism, homophobia, imperialisme, opresi ekonomis, represi seksual sebagai superstruktur yang tersembunyi dari kebudayaan. Sebab itu kita lihat upaya Brown menolak “cerita besar” tentang sejarah dan kekristenan, iman kepada Yesus sebagai Tuhan, sejarah gereja seperti yang ada pada masa kini, keyakinan terhadap Alkitab, dan lain sebagainya.
      2. Ideologi Posmodernisme merupakan ideologi yang muncul sebagai reaksi terhadap cara pandang modernisme dan kekristenan dalam melihat realita. Sikap antipati dan sentimen TDVC terhadap kekristenan tampak jelas pada bab-bab novel thriller ini.
      3. Novel modernisme berupaya mencapai level tertinggi dari realisme historis dan psikologis. Posmodernisme menampilkan kebenaran dari cerita hanya sebagai ilusi, efek diciptakan dengan manipulasi teknik dan kebiasaan untuk membuat cerita nampak riil. Tampak serealistis mungkin, namun novel tetap fiksi. Segala sesuatu hanya fiksi. Senimannya berupaya mengaburkan batas antara kebenaran dan fiksi. Ide demikian tampil dalam komentar Brown pada halaman tentang “Fakta,” lalu permainan mencampur-adukkan data dengan fiksi serta dusta.
      Pada pertanyaan ”Sejauh mana novel ini benar?,” Brown mengakui bahwa karakter dan aksi dalam novelnya tidak riil, tapi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritual rahasia yang digambarkannya eksis. Elemen-elemen riil ini diinterpretasikan dan diperdebatkan oleh karakter fiksi. Brown meyakini bahwa beberapa teori yang didiskusikan oleh para karakter ini memiliki kebaikan, setiap pembaca secara individual harus mengeksplor beragam karakter ini dan membuat interpretasinya masing-masing. Harapannya dengan novel ini adalah agar cerita fiksinya melayani sebagai katalis dan batu loncatan bagi masyarakat untuk mendiskusikan topik-topik penting tentang iman, agama, dan sejarah.
      Menjawab pertanyaan, ”Tetapi bukankah halaman “Fakta” dari novel ini mengklaim bahwa setiap kata dalam novel ini sebagai fakta historis?” Penulis TDVC ini mengatakan, “Jika Anda membaca halaman ’Fakta,’ Anda akan melihat dengan jelas pernyataan bahwa dokumen-dokumen, ritual-ritual, organisasi, karya seni, dan arsitertur dalam novel seluruhnya eksis. Halaman “FAKTA” tidak membuat pernyataan apapun mengenai suatu teori kuno yang didiskusikan para karakter fiksi. Penafsiran ide-ide tersebut diserahkan kepada pembaca.”
      4. Sarjana Posmodernisme berupaya merestorasi kesenian pada referensi eksternalnya. Teks tidak memiliki makna yang terpisah dari konteks, menolak ide bahwa karya seni sesuatu yang terisolasi, dan privilasi obyek. Menghubungkan seni dengan pelbagai realitas lain, termasuk isu moral dan spiritualitas. Pandangan ini tampak dalam TDVC. Ia bukan sekadar sebuah cerita fiksi, tapi dikait-katkan dengan beragam bidang lain: agama, moral, sejarah, arsitektur, feminisme, paganisme, dan lain-lain.
      5. Posmodernisme menolak keabsolutan moral, keagamaan, dan estetika. Realitas dipandang sebagai konstruksi sosial. Dengan falsafah demikian maka Brown menolak dan menyerang otoritas Alkitab, iman ortodoksi, dan gereja. Brown menyikapi “agama” secara skeptis dan relatif dengan memandang dirinya sebagai murid dari beragam agama, dan menurutnya nilai utama agama terletak pada diskusi dan dialog terbuka yang akan memperkaya pemahaman masing-masing. Komentar demikian dapat dilihat pada websitenya, www.danbrown.com Sikap penulis yang skeptis dan relatif nampak jelas dalam karakter para tokoh TDVC.
      6. Penganut Posmodernisme menolak status atau hak istimewa karya seni, perbedaan antara yang artistik dan tidak. Dengan prinsip demikian Brown mempermainkan karya-karya Leonardo DaVinci dan ketenaran lain dalam bidang seni.
      7. Kaum Posmodernis meminimalkan peran artis dan memberi tekanan pada pembaca. Tidak ada arti otoritatif tunggal yang ditentukan oleh artis dan siapapun. Para pembaca yang menentukan makna dari sebuah buku, apakah dianggap penting atau tidak. Semua ini bukan untuk mencari yang obyektif tapi impak yang subyektif. Dalam websitenya, Brown menyerahkan pemaknaan hasil percampuran data, fiksi, dan kebohongan dalam novelnya kepada para pembaca.
      8. Posmodernisme secara bebas memperlakukan masa lampau. Ini berbeda dengan kaum modernis yang melihat masa lampau tidak relevan. Dengan pandangan demikian, sebagai anak zaman Posmodernisme, Brown mempermainkan masa lampau tentang sejarah gereja menurut kehendak yang subyektif dan selera zaman. Brown memiliki tujuan agar pembaca menafsirkan kembali sejarah dari kacamata penafsir masa kini, lalu terbuka terhadap semua dialog, untuk meningkatkan keimanan masing-masing (lihat websitenya).
      9. Posmodernisme memiliki pelbagai variasi, namun memiliki kesamaan, yakni menolak kediktatoran pemikiran masa lampau, “cerita-cerita” besar dipandang menindas “cerita-cerita kecil,” mereka berpihak pada kekhasan dan keunikan. Novel TDVC membela bahkan merayakan paganisme, Gnostisisme, ritual bersifat seksual, feminisme, dan lain sebagainya. Tampak jelas bahwa novel ini memuja-muja Feminisme dengan istilah "sacred feminine" dan pengagungan penyembahan dewi paganisme. Novel ini juga berjiwa New Age yang menolak iman Kristen dan mempromosikan semangat kekafiran.
      Secara relatif Posmodernisme memiliki dampak positip (misal HAM, demokrasi), namun juga memiliki kelemahan dan bahaya. Misal, cara pandang yang memberhalakan konstruksi intelek dengan dekonstruksinya. Falsafahnya menjadi ”Tuhan” yang bersifat absolut dan menjadi tolok ukur, namun di sisi lain, jika dikenakan pada falsafahnya, berarti menyangkal diri sendiri atau ”bunuh diri” (bd. Kel. 20:4; Rom. 1:25).
      Cara berfikir Posmodernisme juga melakukan ketidakadilan dengan menutup mata terhadap kebusukan-kebusukan dalam “cerita kecil,” misalnya prasangka ras, demokrasi liar yang mengatasnamakan ”suara rakyat adalah suara Tuhan” yang menimbulkan anarki dan kehancuran tatanan sosial.

KESIMPULAN
      Menyikapi novel TDVC – juga novel-novel yang bernafaskan Posmodernisme – orang beriman tidak perlu takut, lalu bersikap reaktif, seolah-olah Tuhan tidak dapat membela diriNya. Sebaliknya, orang beriman juga tidak boleh bersikap cuek, masa bodoh, dan tidak berbuat apapun tentang imannya yang sedang ”dipertanyakan” oleh orang lain. Bersikap sangat akomodatif, terlarut dengan falsafah zaman ini, akan menghasilkan kehidupan Kristen yang serupa dengan dunia. Sebab itu, orang beriman seharusnya setia merenungkan dan mempraktekkan firman Tuhan dalam lingkup pribadi, komunitas orang percaya, serta berbangsa-bernegara. Orang Kristen sepatutnya menggumuli imannya di tengah tanda-tanda zaman dan ”memberi jawab” (apologi) bagi orang yang meminta pertanggungjawaban atas imannya. Dengan demikian orang beriman akan memuliakan Tuhan. Soli Deo Gloria! •





..:: Artikel yang Berkaitan ::..

Posted in: ,
Tags: ,

Leave a Reply