Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Maret dan April adalah
hari-hari yang sangat menyibukkan, mendebarkan bahkan menakutkan bagi
setiap siswa (anak didik) di penjuru tanah air.
Kenapa tidak, pada bulan-bulan itu masa depan mereka ditentukan. Anak
didik baik jenjang SD, SMP, dan SMA akan menghadapi Ujian Sekolah (US),
Ujian Nasional
(UN), dan (bagi sebagian) akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.
Khusus UN kendati mendapat penolakan baik dari anak didik, orangtua dan
para pengamat pendidikan tetap diberlakukan walau formula dan mekanisme
pelaksanaannya berubah dari tahun ke tahun.
Selama ini, UN pun dinilai sebagai momok paling menakutkan. Berbagai
alasan menjadi dasar yang dijadikan sebagai batu pijakannya. Pertama,
nilai UN telah dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Dengan
kata lain, berhasil atau tidaknya proses belajar seorang anak didik
hanya ditentukan dalam masa 3 hari pelaksanaan UN tanpa mempertimbangkan
aspek moral dan prestasi belajar anak didik selama mengikuti proses
belajar mengajar (PBM) di sekolah. Hal ini juga telah mendegradasi
otoritas guru sebagai pendidik sekaligus pihak yang mengetahui dan
mengerti keadaan siswa yang dididiknya.
Kedua, UN dilaksanakan di saat kualitas pendidikan di tanah air belum
merata. Hal ini tentu dipengaruhi oleh kesenjangan sarana dan prasarana
pendidikan antardaerah. Anehnya, pemerintah (dalam hal ini Mendiknas)
justru membuat standar penilaian yang sama di semua daerah tersebut.
Ketiga, kecurangan-kecurangan di setiap pelaksanaan UN telah menjadi
rahasia umum yang tak mampu diselesaikan dari tahun ke tahun. Hal ini
terjdi karena belum adanya sinergi yang baik antara Kemendiknas sebagai
pelaksana dengan panitia ujian serta tim pemantau independen sebagai
pengawas pelaksanaan UN. Dengan berbagai praktik kecurangan yang sering
terjadi seperti kebocoran soal, perjokian, dan pembagian kunci jawaban,
lalu masih pantaskah UN dijadikan sebagai satu-satunya dasar penentu
kelulusan anak didik?
Win-win Solution
Sebagai jawaban atas berbagai protes dan penolakan UN, akhirnya
pemerintah men cari jalan keluar dengan cara mengubah formulasi
kelulusan siswa. Dengan keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 45 Tahun
2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP, SMA dan yang
Sederajat menetapkan nilai akhir yang menentukan kelulusan siswa
dihitung dari 60 persen nilai UN ditambah dengan 40 persen nilai
sekolah.
Ada unsur baru dalam formula tersebut, dimana nilai sekolah yang
dihitung dengan berdasarkan pada kombinasi antara nilai rata-rata rapor
semester dan ujian sekolah. Sehingga jika dirumuskan, maka formulasi
kelulusan Ujian nasional pada 2011 adalah: NA (Nilai Akhir) = 0,60 UN
(Ujian Nasional) + 0,40 NS (Nilai Sekolah). Sedangkan rumusan untuk
mendapatkan NS (Nilai Sekolah) adalah: 0,60 US (Ujian Sekolah) + 0,40 RP
(nilai rata-rata semester 3, 4 dan 5 untuk tingkat SMA/SMK/Sederajat
atau nilai rata-rata semester 1, 2, 3, 4 dan 5 untuk tingkat
SMP/Sederajat.
Formula baru ini dianggap sebagai jalan keluar dan win-win solution
serta lebih manusiawi karena tidak semata-mata menjadikan UN sebagai
standar kelulusan. Artinya, dengan diadopsinya Nilai Sekolah (NS)
sebagai penentu kelulusan, peran sekolah (dalam hal ini Guru Didik)
sebagai pihak yang paling mengetahui dan mengerti kondisi anak didiknya
selama proses belajar-mengajar sudah terakomodasi.
Ada dua hal yang menjadi alasan yakni pertama, hal ini berkaitan
dengan tingkat kesulitan soal Ujian Sekolah yang akan diujikan dan cara
penilaian guru atas hasil Ujian Sekolah anak didik yang bersangkutan.
Kedua, nilai rapor yang didapatkan anak didik setiap semester sebelumnya
yang juga sudah dijadikan sebagai penentu kelulusan tentu telah
didasarkan pada penilaian objektif terhadap prestasi akademik anak
didik. Jadi usaha dan capaian anak didik selama ini tidak dianggap
sia-sia. Begitu juga dengan penilaian tentang aspek moral yang tentu
masuk di dalam penentuan nilai rapor anak didik. Jadi, penilaian
terhadap lulus atau tidak seorang anak didik telah didasarkan secara
komprehensif pada keseluruhan aspek yang dimiliki anak didik tersebut.
Kecurangan Baru
Namun, formula baru kriteria penilaian dan penentu kelulusan ini
bukannya tanpa kelemahan. Dengan memberikan otoritas pada sekolah untuk
menentukan 40 persen kelulusan anak didik akan berpotensi dalam
terjadinya kecurangan-kecurangan gaya baru di dunia pendidikan kita.
Kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya, pertama, adanya
upaya untuk memperbaiki atau mengangkat nilai rapor untuk mendongkrak
nilai akhir jika nilai UN anak didik jeblok. Potensi kecurangan ini bisa
saja dilakukan pihak sekolah demi memperbaiki persentase tingkat
kelulusan anak didik di sekolahnya yang telah menjadi salah satu ukuran
berkualitas atau tidaknya sekolah yang bersangkutan. Potensi kecurangan
seperti ini sesungguhnya telah lama terjadi dengan tujuan yang lain.
Misalnya ketika akan mencalonkan anak didik untuk Jalur Panduan Minat
dan Prestasi (PMP) atau dalam ungkapan lain disebut dengan Jalur Bebas
Testing yang disediakan oleh berbagai PTN dimana kriteria utamanya
adalah nilai rapor anak didik yang dicalonkan.
Kedua, kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Sekolah (US)
akan lebih mudah terjadi dibandingkan dengan pelaksanaan UN seperti
kebocoran soal dan kunci jawaban. Kecurangan-kecurangan tersebut bahkan
berpotensi besar terkait kualitas pelaksanaan terutama tingkat
pengawasan yang cenderung lebih rendah dari UN. Dengan kata lain,
formula yang seperti ini akan membuka ladang kolusi baru bagi pihak
terkait (guru, anak didik, dan orangtua).
Sanksi Terhadap Kecurangan UN
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tidak bosan-bosan
mengajak siswa, guru, dan pejabat terkait untuk jujur dalam pelaksanaan
ujian nasional (UN). Meskipun kecurangan sulit dideteksi, Kemendiknas
tetap yakin ancaman sanksi bisa membuat semua yang terkait lebih jujur.
Ancaman sanksi tahun ini adalah nilai siswa yang curang akan dihapus.
Ancaman tersebut disampaikan langsung Mendiknas Mohammad Nuh. Dia
menjelaskan, tahun ini pihaknya memiliki sistem baru untuk mendeteksi
kecurangan pengerjaan UN. Setiap lembar jawaban siswa memiliki kode
rahasia. Kode tersebut hanya diketahui Kemendiknas, percetakan, dan
pengawas.
Dengan kode rahasia tersebut, pelaksana UN bisa mengetahui langsung
siswa yang melakukan kecurangan. ’’Semua harus mengikuti tema UN tahun
ini; prestasi yes, jujur harus,’’ tandas mantan Menkominfo itu.
Selain mewanti-wanti siswa supaya mengerjakan soal dengan jujur,
Kemendiknas masih mencium potensi pihak sekolah yang mendongkrak nilai
UN siswanya. Tujuannya satu, mencapai angka kelulusan 100 persen.
Untuk kasus itu, Nuh mengatakan bahwa pihak sekolah yang curang akan
mendapatkan sanksi administratif. Yaitu, Kemendiknas tidak menerima
nilai ujian sekolah. Sebagimana diketahui, ketentuan kelulusan diambil
dari dua aspek. Pertama, dari nilai ujian nasional sebesar 60 persen dan
yang kedua dari nilai ujian sekolah sebesar 40 persen. ’’Jika sekolah
nakal, persentase ujian sekolah kami hapus. Jadi murni kelulusan dari
nilai UN saja,’’ tegas mantan rektor ITS tersebut. Jika nilai ujian
sekolah yang diambil berdasar rapor dihapus, otomatis siswa berharap
penuh kepada hasil UN.
Kepada wali murid yang anaknya menjalani UN, Nuh mengingatkan agar
tidak terpengaruh isu jual beli bocoran naskah soal. Dia mengatakan,
selama ini banyak sekali modus yang digunakan penipu untuk mencari duit
menjelang detik-detik akhir pelaksanaan UN. Nuh mencontohkan, ada penipu
yang mengatakan bahwa lembar soal yang dijualnya 50 persen persis
dengan naskah UN. Harga yang dipatok bisa sampai Rp1 juta.
Ada juga yang memasang iming-iming bahwa akurasi naskah soal yang
mereka jual itu adalah 75 persen bahkan 100 persen. ’’Semua itu bohong.
Kalau dipercaya, risikonya besar,’’ sebut Nuh.
Risiko muncul karena siswa bisa jadi ogah belajar karena merasa sudah
memegang duplikat lembar soal UN. Padahal, lembar duplikat tersebut
bohongan.
Pintu kebocoran naskah soal UN yang lain diduga muncul dari lembaga
bimbingan belajar. Untuk menarik peminat, biasanya lembaga bimbingan
belajar melobi percetakan untuk mendapatkan lembar soal UN. Untuk kasus
itu, Nuh menegaskan bahwa tahun ini hal itu tidak akan terjadi. Nuh
mengatakan, pihaknya mulai memberikan penyuluhan kepada lembaga
bimbingan belajar untuk memperkaya kisi-kisi latihan UN. ’’Kalau
kisi-kisi, itu kan tidak masalah,’’ kata dia. Misalnya untuk pelajaran
matematika, kisi-kisi soalnya tentang persamaan kuadrat atau lainnya.
Sebagaimana diberitakan, UN 2011 untuk tingkat SMA dan sederajat
digelar Senin depan 18 April. Pekan ini tahap percetakan naskah UN sudah
rampung. Dari beberapa inspeksi mendadak (sidak), Kemendiknas yakin
kebocoran sudah bisa diatasi. Pencetakan naskah UN yang menelan anggaran
Rp500 miliar dianggap sudah sesuai SOP (standard operational program).
Selanjutnya tinggal proses distribusi.
Mendongkrak Nilai adalah Salah satu Bentuk Kecurangan
Kelulusan siswa SMA/SMK sederajat mulai tahun ini merupakan gabungan
dari nilai ujian nasional dan ujian sekolah dengan perbandingan bobot
60:40. Jika ada tindakan curang dengan mendongkrak nilai ujian sekolah,
maka sekolah yang melakukan hal tersebut akan dikenai sanksi.
Jika ada soal yang bocor, hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus.
– Mohammad Nuh
Jika ada soal yang bocor, hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus.
– Mohammad Nuh
“Nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan
masuk daftar hitam,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh
seusai melakukan inspeksi mendadak ke Percetakan Balai Pustaka, Sabtu
(9/4/2011) di Pulo Gadung, Jakarta.
Selain melihat hasil ujian nasional (UN), kelulusan siswa mulai tahun
ini juga diberikan dengan memerhatikan nilai ujian sekolah serta nilai
rata-rata rapor semester III, IV, dan V.
Titik rawan
Nuh mengatakan, percetakan merupakan salah satu titik rawan kebocoran
soal UN. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal itu, pada setiap soal
telah dibubuhkan kode khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu
dari Kementerian Pendidikan Nasional, pengawas, dan percetakan.
“Jika ada soal yang bocor, maka hal itu mudah ditelusuri karena ada
kode khusus. Bisa diketahui pula soal yang ‘bocor’ itu soal asli atau
bukan. Yang penting masyarakat jangan terjebak spekulasi bahwa ada soal
bocor,” kata Nuh.
Selain antisipasi kebocoran soal, juga dilakukan antisipasi terhadap
kecurangan melalui lima tipe soal dengan tingkat kesulitan sama. Dari 20
siswa dalam satu ruang kelas, hanya akan ada empat siswa yang
mengerjakan soal yang sama.
“Ini untuk meningkatkan kredibilitas UN semata. Teknis pengaturan soal random,” kata Nuh.
Solusi
Peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan peningkatan mutu anak
didik yang menjadi sumber daya dalam memajukan bangsa ini ke depan.
Peningkatan kualitas tentu harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
kejujuran, profesionalitas serta meminimalisir potensi-potensi
kecurangan terutama dalam penentuan nilai akhir dan kelulusan anak
didik. Rata-rata Nilai Akhir (NA) minimum 5, 5 dan tidak ada nilai mata
pelajaran di bawah 4, 0 sebagai syarat kelulusan sepertinya bukan
sesuatu kriteria yang berlebihan.
Oleh karena itu, sedapat mungkin harus diminimalisir berbagai
kecurangan dengan cara sebagai berikut: pertama, pelaksanaan pengawasan
Ujian Sekolah di suatu sekolah lebih ditingkatkan termasuk dengan cara
mendatangkan pengawas dari luar atau sekolah lain untuk menjamin
objektivitas pelaksanaan ujian. Hal ini bisa juga dilaksankan dengan
pemberlakuan tim pemantau independen yang sayangnya justru akan
ditiadakan dalam pelaksanaan UN 2011.
Kedua, membuat standarisasi soal Ujian Sekolah agar tidak dibuat
semena-mena oleh pihak sekolah. Ketiga, melakukan pemantauan, pengawasan
administrasi nilai rapor untuk mencegah pengangkatan nilai rapor anak
didik.
Diolah dari berbagai sumber kredibel