Oleh: Pdt. Ruslan Christian
The Da Vinci Code adalah sebuah novel yang pernah menjadi best-seller di pelbagai toko buku di AS sejak diterbitkan Doubleday pada April tahun 2003. Novel ini merupakan karya keempat dari Dan Brown setelah Digital Fortress (bestselling nasional pertama eBook), Deception Point, dan Angels and Demons. Pada penjualan perdananya, novel ini langsung meraih sukses yang tidak pernah terjadi pada novel lain, menjadi Bestseller The New York Times, bersamaan dengan bestseller pada The Wall Street Journal, Publishers Weekly, dan San Francisco Chronicle. The Da Vinci Code juga pernah menduduki peringkat bestseller di semua toko buku negara AS. Pada pertengahan Oktober 2003, novel ini menjadi bestseller lebih dari 28 minggu pada daftar The New York Times. Di Indonesia, buku ini dicetak pada Juli 2004 oleh penerbit PT Serambi Ilmu Semesta dan dalam waktu enam bulan saja sudah mencapai cetakan kesepuluh. Hingga tahun 2005 telah tercetak kira-kira 3 juta eksemplar dan diterjemahkan ke dalam 30 bahasa.
Paling sedikit ada dua faktor yang mendongkrak daya pikat novel ini.
Pertama, kepiawaian Dan Brown mengolah alur ceritanya. Sesuai dengan
karakteristik novel posmodern, Brown mengolah data-data yang ada atau
pernah ada dalam sejarah, memfiksikan menurut imajinasinya, serta
memanipulasi data-data tersebut. Dengan kata lain, ia meramu novel
kontroversial ini dengan data, dongeng dan dusta.
Kedua, faktor kekontroversialan dari cerita misteri ini. Ia menampilkan
beragam tokoh yang ada dalam sejarah dan mempresentasikannya menurut
khayalannya. Salah satu figur penting yang ditampilkan adalah Yesus
Kristus, di mana Sang Juruselamat dikarikaturkan oleh Brown sebagai
”Yesus” yang menikah dengan Maria Magdalena.
Upaya memperolok-olok dan mengarikaturkan Yesus sudah terjadi sejak Ia
datang ke dalam dunia ini kurang lebih dua ribu tahun lalu. Yesus pernah
diejek, diludahi, dan dipukuli di dalam pengadilan orang Yahudi. Ia
juga pernah diolok-olok di hadapan Herodes dan Pilatus. Saat Ia
disalibkan, para prajurit Romawi dan para pemimpin Yahudi
mengolok-olok-Nya, bahkan kedua penjahatpun ikut mengejek-Nya. Akhirnya,
hukuman penyaliban merupakan penghinaan paling dahsyat yang
dialami-Nya.
Pengejekan terhadap Yesus terus berlangsung di sepanjang sejarah dunia
oleh orang-orang yang memusuhi Dia. Hugh Schonfield pada tahun 1966
membuat cerita “The Passover Plotter” tentang “Juruselamat” palsu yang
membuat rencana busuk skenario Golgota. Buku Nikos Kazantzakis, “The
Last Temptation of Christ” yang kemudian difilmkan, menggambarkan Yesus
sebagai sasaran cemoohan Paulus. Lalu “Jesus The Radical Revolusionary”
oleh SGF Brandon, dan “Christ The Master Magician” karya Morton Smith.
Pada tahun 1980an muncul “Holy Blood, Holy Grail” karya Baigent,
Lincoln, dan Leigh. Sekarang, The Da Vinci Code menambah deretan karya
yang mengejek Yesus.
Novel yang laris-manis ini diadaptasi ke dalam film oleh Columbia
Pictures yang beredar pada bulan Mei 2006. Menurut Suara Pembaruan
Online, edisi 24/1/06, film The Da Vinci Code telah terpilih menjadi
film pembuka dalam Festival Film Cannes ke-59, pada 17 Mei 2006. Lalu
pada tanggal 19 Mei 2006, film tersebut diputar serentak di seluruh
dunia.
Novel yang ditulis oleh bekas guru bahasa Inggris ini bercorak misteri
pembunuhan dan thriller yang memikat pembaca dari satu bab ke bab
lainnya, dengan beragam teka-teki, data sejarah, karya seni, arsitektur,
keagamaan, dsb. Alur ceritanya dimulai dengan peristiwa pembunuhan
Saunire, kurator senior di Museum Louvre, dengan meninggalkan beragam
kode yang menjadi rangkaian misteri yang perlu dipecahkan. Tokoh utama
yang terlibat dalam kisah ini, Robert Langdon, pakar simbologi Harvard
dan Sophie Neveu, kryptolog berbakat Prancis. Dalam alur thriller ini,
Brown dengan cerdik dan piawai mengemas khayalannya dengan memanfaatkan
beragam data dari pelbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, dan
interpretasi menurut kehendaknya sendiri.
Sebagian pembaca memuji novel ini sebagai luar biasa, sebagian lagi
bersikap tidak acuh, sedangkan sebagian orang Kristen nampak menjadi
bingung karena novel ini. Tulisan ini merupakan suatu upaya mengkritisi
novel tersebut dari perspektif iman Kristen.
TINJAUAN BIBLIOLOGIS
Melalui The Da Vinci Code, diakui atau tidak, Brown menyerang pada
fundamental sistem kepercayaan Kristen. Alkitab yang menjadi dasar iman
dan patokan tingkah laku Kristen dipertanyakan dan diragukan
kredibilitasnya.
1.1. Menurut Brown, Alkitab adalah buatan manusia, bukan Tuhan. Hanya
catatan sejarah yang melibatkan penerjemahan, penambahan dan revisi tak
terhitung. Sejarah tidak pernah mempunyai versi pasti buku ini (hal.
323).
FAKTA: Pandangan tokoh Teabing ini berdasarkan teologi modern atau
teologia historis-kritis. Dalam membangun teologinya, para teolog modern
mendasarkan gagasannya pada seperangkat presuposisi filsafat
Pencerahan. Salah satu presuposisinya adalah “Alkitab buatan manusia
belaka dan tidak ada campur tangan Ilahi.” Corak pemikiran yang berasal
dari filsafat Pencerahan ini menempatkan manusia dan akalnya sebagai
pusat segala sesuatu. Kritik Sastra yang menjadi salah satu hasilnya,
melihat sejarah tidak memiliki kepastian, khususnya periode waktu antara
tradisi lisan Perjanjian Baru (PB) dan tulisan PB. Padahal jangka waktu
antara beredarnya tradisi lisan dan tradisi tulisan hanya berjarak
kira-kira 25 tahun saja. Jadi sebenarnya Alkitab sangat dapat dipercaya,
bukan hasil rekayasa yang semrawut.
1.2. Menurut Brown, Dead Sea Scrolls ditemukan tahun 1950an dan dipandang sebagai kitab yang mengabsahkan “injil-injil” (hal. 327).
FAKTA: Dead Sea Scrolls (Gulungan Laut Mati) ditemukan bukan tahun
1950an, melainkan pada Pebruari atau Maret 1947 secara kebetulan oleh
seorang gembala kambing Beduin. Naskah-naskah tersebut terdiri dari
kurang lebih 40.000 fragmen. Naskah-naskah ini tidak memuat Injil, tidak
ada berbicara tentang Yesus, dan sama sekali tidak berbicara tentang
kekristenan. Naskah dari masyarakat Yahudi yang hidup tahun 150 sM-70 M
ini, sebagiannya hanya menyangkut naskah Perjanjian Lama (PL). Brown
keliru mengaitkan Naskah Laut Mati dengan Injil yang kita miliki
sekarang.
1.3. Brown melalui tokoh fiksinya mengatakan, Gulungan Koptik Nag Hammadi (NH) ditemukan tahun 1945 sebagai sumber kisah Grail (Cawan Perjamuan Terakhir) sejati dan berbicara tentang kependetaan Yesus secara manusiawi (hal. 327). Lalu naskah NH dan Gulungan Laut Mati, dipandang sebagai catatan Kristen paling awal....tidak sesuai dengan Injil” (hal. 342). Brown mendasari pandangannya tentang Yesus berdasarkan kitab NH yang bercorak gnostis, Injil Filipus, dan Injil Maria.
FAKTA: Pandangan di atas tidak benar karena ada dua alasan pokok.
Pertama, Naskah salinan PB jauh lebih awal dan tua dibandingkan dengan
naskah NH (catatan: Naskah NH ditemukan bulan Desember 1945, satu tahun
sebelum penemuan Gulungan Laut Mati. Tiga bersaudara miskin menemukannya
saat menggali dasar karang terjal untuk mendapatkan tanah yang kaya
nitrat untuk penyubur, di karang terjal Jabal al Tarif, kira-kira 10 km
Timur Laut Nag Hammadi. Karena kemiskinan, ibu mereka membakar sebagian
naskah tersebut, dan sebagian lagi berulangkali berpindah tangan dari
makelar ke makelar pasar barang antik hingga akhirnya disimpan di Museum
Koptik, Mesir. NH terdiri dari 11 kodeks atau manuskrip berbentuk
kitab, dan 2 fragmen). Penulisan dan peredaran PB antara tahun 50 M-170
M. Naskah-naskah salinan PB yang kita miliki sangat dekat dengan
peristiwa kehidupan Yesus dan para rasul. Potongan salinan naskah tertua
adalah dari Injil Yohanes 18:31-33, bertanggal 117-138 M. Sedangkan
kemunculan naskah NH jauh sesudahnya, yakni pada abad ke 3-4 M.
Perlu diketahui bahwa keseluruhan naskah NH bukan merupakan perpustakaan
dari satu sekte masyarakat religius sebab NH terdiri dari teks-teks
non-Gnostik, non-Gnostik Kristen, dan Gnostik Kristen. Dengan kata lain,
terdiri dari beragam bentuk sastra. Sehingga kemungkinan besar berasal
dari beberapa biara Kristen di daerah itu, yang dikubur oleh biarawan
secara tergesa-gesa sebagai respon menyingkirkan buku para bidat yang
dilarang saat itu. Tidak ada bukti bahwa ada komunitas Gnostik di sana
Patut diperhatikan bertalian dengan kaum Gnostik, tidak ada naskah
Gnostik bertanggal abad 1 M. Semua naskah Gnostik yang ada kini
bertanggal antara abad 2-3 M. Ben Witherington III, pakar PB, mengatakan
tidak ada bukti bahwa Gnostisisme eksis sebelum paro kedua abad kedua.
Sebab itu, naskah salinan PB yang memiliki kredibilitas menjelaskan
riwayat Yesus, bukan naskah NH yang Gnostis dan jauh lebih muda itu.
Kedua, gagasan PB yang mempengaruhi pandangan kaum kaum Gnostik dalam
naskah NH, bukan sebaliknya. Ini sebagai konsekwensi logis dari usia
salinan naskah PB yang jauh lebih awal dibandingkan naskah NH. Ide-ide
PB yang mempengaruhi dan diubah oleh kaum Gnostik. Ladd mengatakan tidak
ada bukti bahwa konsep ”penebus surgawi” terdapat dalam gnostik
pra-Kristen. Gagasan tentang ”penebus” yang turun-naik surga baru muncul
dalam Gnostisisme-Akhir pada abad 3 M atau pasca-Kristen. Contoh lain,
konsep ”eskenosen” (tabernakel) dalam naskah Yunani Yohanes 1:14
mempengaruhi dan diadopsi Apokaliptik dari Adam dan Parafrase dari Sem
dalam naskah NH. Juga konsep tentang ”gnosis” dan ”sophia.” Injil
Filipus sendiri berisi kutipan dari surat Paulus dan Yohanes.
Nampaknya buku Elaine Pagel, ”The Gnostic Gospel,” yang mengulas naskah
kaum Gnostik; dan praduga gnostis dalam novel ”Holy Blood, Holy Grail”
(1982) yang menjadi akar pandangan Brown tentang garis keturunan Yesus
dengan Maria Magdalena. Sebab itu, sangat menyesatkan jika gagasan
tentang pribadi dan karya Yesus digambarkan menurut filsafat Gnostisisme
yang muncul pada pasca-Kristen.
1.4. Brown di dalam The Da Vinci Code mengatakan bahwa PB terdiri lebih dari delapanpuluh ajaran, hanya sedikit yang dipilih untuk dicantumkan (hal. 323).
FAKTA: PB yang memiliki 5000-5300 potongan salinan naskah Yunani dan
20.000an salinan bahasa lain, tidak terdiri dari banyak Injil seperti
dipradugakannya. Dipandang beragam oleh Dan Brown karena dicampuradukkan
dengan naskah-naskah jauh sesudah periode PB atau para rasul.
Injil-injil kaum Gnostik dan Injil Filipus bukan Injil sesungguhnya.
Sedangkan Injil Maria kemungkinan besar bukan bagian kumpulan naskah NH
dan merupakan produk kaum Gnostik yang muncul pada awal abad ketiga
masehi. Sebaliknya, keempat Injil (Markus, Matius, Lukas dan Yohanes)
yang menjadi fondamen dokumen PB. Eusebius mengatakan bahwa keempat
Injil menjadi pusat dari kanon PB dan kanonisasinya berdasarkan
peredaran yang luas dalam gereja awal di pusat-pusat kekristenan
Yerusalem, Antiokhia, Aleksandria, dan Roma.
1.5. Novel The Da Vinci Code mengatakan, ”tak ada yang asli dalam Kristen melainkan dari paganisme (hal. 324-325).
FAKTA: Kekeliruan pandangan itu mirip (atau dipengaruhi?) dengan
kesalahan presuposisi teolog modern seperti Bultmann. Bultmann, sebelum
penemuan NH sudah mempradugakan bahwa kekristenan tumbuh-kembang seperti
agama-agama lain, melalui proses evolusi, di mana kekristenan
berinteraksi dengan beragam kepercayaan konteksnya. Lalu kekristenan
dipresuposisikan berasal atau dipengaruhi gnostisisme. Di sisi lain,
Bultmann dan Dibellius mempradugakan bahwa kekristenan awal tertutup
atau tidak terakses oleh ajaran lain. Ini pandangan yang tidak
konsisten. Berdasarkan pandangan kedua itu seharusnya tidak mungkin
kekristenan berasal dari atau dipengaruhi Gnostisisme dan paganisme
seperti yang juga dipradugakan Dan Brown. Selain itu, orang Kristen
mula-mula menderita penganiayaan hebat akibat pengakuannya bahwa Yesus
satu-satunya Tuhan, dan menolak keilahian kaisar atau keyakinan
paganisme. Jadi tidak mungkin kekristenan berasal dari Gnostisisme atau
paganisme.
1.6. Menurut The Da Vinci Code, PB ditetapkan dalam konsili Nicea karena keputusan politik Konstantin, untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 324-325).
Pusat pembahasan pada Konsili Nicea bukan penetapan kanon Alkitab.
Pernyataan bahwa ke 27 kitab PB sebagai kanonik dimulai oleh Athanasius
(367 M), Konsili di Roma (382 M, di Barat), Konsili di Kartago (397 M,
di Timur), dan Paus Innocent I (403 M, di Barat). Selain itu, mustahil
Konstantin memiliki kuasa menetapkan kanon PB karena ia baru mengontrol
pemerintahan sepenuhnya pada tahun 324 M, menjelang Konsili Nicea (325
M). PB tidak ditetapkan karena keputusan Konstantin.
1.7. Menurut novel ini, Nuh seorang albino (hal. 234).
FAKTA: Tidak ada catatan Alkitab bahwa Nuh seorang albino.
1.8. Menurut Brown, orang-orang Yahudi awal percaya bahwa Ruang Mahakudus di Kuil Salomo tidak hanya berisi Tuhan, tetapi juga perempuan kuat imbanganNya, Shekinah. Lelaki yang mencari keutuhan spiritual datang ke kuil itu untuk mengunjungi pendeta perempuan – atau hierodules – untuk bercinta dengannya dan merasakan Tuhan melalui penyatuan badani.. (hal. 432).
FAKTA: Ini menggelikan karena bersifat fantasi dan dusta, bukan fakta.
Sebab kepercayaan Yahudi dari azalinya bersifat monoteistis, kepercayaan
kepada Allah yang Esa (ingat iman Abraham). Ini sumbangsih Yahudi bagi
dunia ini. Mereka juga tidak memiliki istilah bagi dewi karena memang
tidak ada kepercayaan demikian. Shekinah adalah kemuliaan Allah yang
menyertai kehadiran-Nya, bukan pasangan Ilahi.
1.9. Praduga Brown, tetragam Yahudi YHWH – nama suci Tuhan –sebetulnya berasal dari Yehovah, sebuah penyatuan badani androginius antara Yah dan yang lelaki dan nama pra-Yahudi bagi Eva, Havah (hal. 433).
FAKTA: YHWH berasal dari bahasa Ibrani dalam bentuk huruf mati, kemudian
dalam Masoretik memakai konsonan menjadi Yehovah. Ini menunjuk
self-Existent atau KekekalanNya. Para rabi Yahudi kemudian melarang
penyebutan nama ini lalu menambahi dengan vowel menjadi Yehovah. Kata
“Yah” adalah bentuk pendek dari YHWH (haleluyah berarti “Puji Yah”).
Sedangkan kata ”hawa” adalah bentuk kuna dari kata ”haya,” yang berarti
”ada, menjadi, terjadi.” Jadi makna kedua kata itu bukan seperti
khayalan Brown yang bermental posmodern.
Dengan demikian seluruh pandangan Brown yang kontroversial tentang
Alkitab bersifat khayal belaka dengan cara mempermainkan data-data yang
ada. Sebaliknya kredibilitas Alkitab sudah teruji dan dapat kita
andalkan sebagai dasar iman dan perbuatan kita.
TINJAUAN KRISTOLOGIS
Alkitab menyatakan bahwa Kristus adalah Allah-Manusia Sejati dan
sebaliknya Kristus menyatakan otoritas Alkitab. Kristus dan Alkitab
“jatuh bangun” bersama-sama. Maksudnya, jika Alkitab dapat diandalkan
kebenarannya, berarti Kristus yang diberitakan Alkitab juga bisa
dipercaya. Sebaliknya, jika Alkitab tidak dapat dipercaya, maka kita
juga tidak memiliki dasar beriman kepada Kristus. Selanjutnya, jika
pribadi dan karya Kristus bisa diandalkan kebenaranya, maka Alkitab juga
bisa dipercaya sebab Kristus sendiri mengakui Alkitab sebagai firman
Allah. Dan sebaliknya juga demikian. Kristus sebagai Juruselamat dan
Tuhan sungguh dapat kita percaya sepenuhnya.
2.1. Menurut versi The Da Vinci Code, PB ditetapkan dalam konsili Nicea karena keputusan politik Konstantin, untuk “meningkatkan status Yesus…seakan Tuhan” (hal. 324-325). Padahal, menurutnya, orang Kristen abad pertama tahu Yesus manusia biasa. Ini keputusan politis, mengambil keuntungan dari pengaruh Yesus untuk menjadi alat legitimasi kekuasaan gereja dan negara. Menurutnya sudah ada ribuan dokumen yang mencatat Yesus manusia biasa (hal. 327).
FAKTA: Pokok perdebatan konsili Nicea (Juni 325 M) bukan soal Konstantin
meningkatkan status Yesus menjadi Tuhan, melainkan soal ajaran Arius,
yang mengajarkan bahwa hanya Allah Bapa sebagai Allah, sedangkan Anak
Allah hanya ciptaan dari yang tidak ada, dan melaluiNya Allah
menciptakan dunia. Bagi Arius Yesus memiliki awal dan tidak kekal.
Pandangan ini diteruskan oleh Saksi Yehovah pada masa kini. Konsili
mengutuk Arius, menyusun Pengakuan Iman Nicea (anti Arius), dan ketiga
Pribadi Tritunggal dipandang sehakekat. Jadi pusat perdebatan ada pada
KeIlahian Kristus dalam relasi dengan Bapa, bukan mengesahkan KeIlahian
Kristus. Sebab pengakuan iman tertua bahwa Yesus adalah Tuhan sudah ada
bersamaan dengan lahirnya kekristenan pada abad pertama (1 Kor. 12:3,
diperluas dalam Roma 1:3; Fil. 2:5-11), jauh sebelum masa Konstantin
(313-337M). Jadi tidak benar jika dikatakan orang Kristen awal menerima
Yesus hanya manusia belaka, melainkan telah melihat, mengalami dan
mengakui KeIlahian Kristus sebagai Mesias yang dijanjikan.
2.2. Praduga The Da Vinci Code adalah Gereja… harus meyakinkan dunia bahwa nabi yang dapat mati itu, Yesus, adalah seseorang yang memiliki sifat Tuhan…segala ajaran yang menjelaskan aspek keduniaan dari kehidupan Yesus harus dihilangkan dari Alkitab (hal. 340).
FAKTA: Alkitab tidak menghilangkan sifat kemanusiaan Yesus, bahkan
sebaliknya menunjukkan kesempurnaan kemanusiaanNya secara utuh. Ia
dikandung dan lahir dari anak dara Maria, Ia mengalami proses
pertumbuhan sebagaimana lazimnya manusia, Ia memiliki keterbatasan
sebagai manusia (keletihan, rasa haus dan lapar, sedih, menangis, dan
mati). Namun Yesus adalah Manusia sempurna tanpa dosa, dan juga Allah
Sejati.
2.3. Menurut tokoh dalam novel ini, “Yesus dan Maria adalah pasangan suami isteri” (hal. 340).
FAKTA: Teori yang menyesatkan tentang pernikahan dan keturunan Yesus
dengan Maria Magdalena ini pertama kali muncul pada abad 9 M. Menurut
Holy Blood, Holy Grail – sumber teori The Da Vinci Code – Maria
mengandung bayi dari Yesus, mengungsi ke Prancis, lalu melahirkan Sarah,
yang menjadi nenek moyang dinasti Merovingian di Prancis.
PB tidak mengindikasikan bahwa Yesus menikah. Tradisi para bapa
apostolik juga tidak mengatakan demikian, bahkan kitab apokrifa juga
tidak. Satu asumsi menyesatkan dimasukkan Brown bahwa seorang pria
Yahudi harus menikah menurut tradisi para rabi. Ini tidak benar sebab
justru sebaliknya tradisi para rabi menjamin kehidupan tidak menikah,
bahkan semua sub-kelompok dalam Yudaisme mempraktekkan selibat, seperti
kelompok Esene dan Pengobatan Mesir yang dikenal Philo. Yeremia dan
Yohanes pembaptis juga tidak memiliki isteri. Demikian pula Paulus
(1Kor. 9:5). Jika Yesus menikah maka tentu Paulus tidak menghunjuk pada
Petrus saja, tapi juga Yesus, Pribadi yang berotoritas. Tradisi dalam
sejarah gereja tidak mengindikasikan bahwa Yesus menikah dan memiliki
keturunan.
2.4. Brown mendasari teori pernikahan Yesus dengan Maria Magdalena berdasarkan the Gospel of Philip dan the Gospel of Mary Magdalene. “Injil Philip selalu awal yang baik ….Kristus mencintainya lebih daripada cintaNya kepada seluruh muridnya, dan Yesus sering menciumnya di mulut. Murid-murid yang lain tersinggung karenanya, dan mengungkapkan ketidaksetujuan mereka...” (hal. 342).
FAKTA: Ada dua kesalahan besar dalam praduga ini. Pertama, frasa NH yang
ditafsirkan Brown banyak berisi tanda | | yang berarti ada
kekosongan teks. Jika di dalamnya berisi tiga titik berarti teksnya
tidak bisa direkonstruksi. Kata ”sering” sebenarnya bertanda | |,
sedangkan kata ”mulut” bertitik tiga seperti ini |...| menunjukkan
adanya penyisipan kata yang banyak variasi. Jadi makna teks ini, lebih
tepat ciuman kudus/spiritual antar orang percaya, mengingat kaum Gnostik
bersifat asketis dan menolak pengagungan hal lahiriah-jasmaniah.
The Da Vinci Code juga menunjukkan kekonyolan ketika mengharmonisasikan dua pandangan yang saling berlawanan: Gnostisisme dan paganisme. Gnostisisme menolak segala kebaikan yang bersifat jasmaniah, termasuk hubungan seks, dan menekankan hanya aspek rohani. Sebaliknya, paganisme sering mengaitkan keyakinannya dengan aspek jasmani, termasuk ritual seksual. Upaya harmonisasi ini jelas tidak masuk akal karena keduanya berkontradiksi.
Sosok ”Yesus” yang dikhayalkan dan dicipta oleh Dan Brown tidak memiliki
landasan sejarah dan data yang kokoh, dan hanya spekulasi di antara
sekelompok orang saja. Hanya Yesus sebagaimana yang dinyatakan oleh
Alkitab saja yang riil, dapat kita andalkan dan alami dalam kehidupan
ini. •
Bersambung Bagian 02
Source: GKA GLORIA